Friday, April 19, 2013

Hati lagi Demo ...

Suatu ketika sang Hati resah dengan cara pikiran melakukan proses ibadah, terlalu banyak hal yang menjadi syarat dan ketentuan yang berlaku. Cukup niatkan hati persembahan sesuai dengan kemampuan mari mulai berdoa dengan ketulusan. Namun pikiran belum dapat menerima hal baru, mengikuti cara lama tanpa tahu makna yang sebenarnya.
Hati : "ayo mulai berdoa"
Pikiran : "sebentar ada yang kurang"
Hati : "sudah cukup dan lengkap, ayo kita berdoa"
Pikiran : "iya sebentar lagi dikit"
Hati : "oke, kalau gitu saya duluan dan kamu menyusul"
Pikiran : "oke deh"
Hati pun memulai doanya dengan persembahan yang sederhana. Setelah beberapa waktu pikiran masih sibuk dengan persiapan, hati sudah hampir selesai dengan doanya.

Thursday, September 17, 2009

Kosong Itu Isi

Penulis : Gede Prama

Ada sebuah wilayah yang jarang ditelusuri ilmu pengetahuan, wilayah tersebut diberi sebutan kosong. Dalam matematika, ia diberi simbul angka nol. Dalam tataran wacana yang biasa, ia diidentikkan dengan ketiadaan. Sesuatu yang memang tidak ada, tidak bisa dijelaskan, tidak terlihat, apa lagi bisa diraba. Pokoknya, kosong itu berarti tidak ada.

Agak berbeda dengan orang barat memandang kekosongan, orang timur mengenal istilah koan. Sebagaimana hakekat kosong yang tidak bisa dijelaskan, ide terakhir juga bersifat unexplainable. Ia mungkin hanya bisa ditanyakan. Pertanyaa koan yang paling terkenal berbunyi begini : bagaimanakah bunyi tepuk tangan yang hanya dilakukan oleh sebelah tangan ?

Siapa saja akan mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan terakhir. Lebih-lebih kalau sumber jawaban yang dimiliki hanya bersumber pada logika-logika empiris. Sulit dibayangkan, ada seseorang atau sekumpulan orang yang pernah mendengar bunyi tepuk tangan yang hanya dilakukan sebelah tangan. Sama sulitnya dengan membuat nyata angka nol.

Tanpa bermaksud menjawab pertanyaan terakhir, sekarang coba perhatikan cangkir, gelas, piring, rumah, lapangan sepak bola, sampai dengan alam semesta. Bukankah semua itu jadi berguna karena menyimpan ruang kosong. Sulit dibayangkan, bagaimana kita manusia bisa memetik guna dan manfaat dari cangkir, gelas, rumah dan lapangan sepak bola yang penuh. Apa lagi ruang kosong super besar yang menutup alam semesta. Andaikan ruang kosong terakhir tertutup benda yang memungkinkan kekosongan tadi lenyap, dari mana manusia menghirup udara ? Bukankah semua kehidupan akan mati percuma dan tiada guna ?

Dalam bingkai-bingkai pertanyaan (bukan pernyataan) seperti ini, saya menjaga jarak terhadap sinyalemen matematika yang mengidentikkan kekosongan dengan angka nol yang berarti tiada. Kekosongan, setidaknya dalam bingkai pertanyaan di atas, memiliki arti, guna, serta manfaat yang tidak kalah dengan apa-apa yang sejauh ini disebut berisi. Bahkan, sebagaimana dicontohkan oleh lapangan sepak bola dan alam semesta di atas, kekosongan lebih ‘berisi’ dari apa-apa yang sejauh ini disebut dengan isi. Bahkan, dalam beberapa bukti (seperti udara yang bermukim di ruang kosong) kekosongan menghadirkan substansi manfaat yang lebih besar.

Setelah dibuat berkerut sebentar oleh penjelasan di atas, mari kita bawa perdebatan tentang kekosongan terakhir ke dunia mind. Ilmu pengetahuan dan sekolah memang membuat mind jadi penuh dengan isi. Ada isi yang bernama fisika, matematika, statistika, manajemen dan masih banyak lagi yang lain. Dan berbeda dengan isi rumah, atau isi cangkir, isi mind memiliki pengaruh yang besar dalam hal bagaimana mata melihat dunia.

Orang-orang yang tahu dan paham betul akan statistika, memiliki penglihatan berbeda dengan mereka yang awam akan statistika. Serupa dengan itu, sebagai orang yang lahir dan tumbuh di dunia manajemen, saya memiliki pandangan yang sering kali berbeda dengan sahabat-sahabat yang tidak pernah tumbuh di lahan manajemen. Hanya kedewasaan dan kearifan yang memungkinkan perbedaan terakhir kemudian bergerak maju ke dalam pengkayaan-pengkayaan.

Sayangnya, tidak banyak yang memiliki kedewasaan dan kearifan terakhir. Sehingga jadilah fully occupied mind – baik karena penuh oleh pengetahuan, pengalaman, kepentingan maupun yang lain – tidak sebagai sumber dari banyak hal yang berisi. Sebaliknya, menjadi awal dari penghancuran-penghancuran yang tidak berguna dan berbahaya.

Sebutlah wacana-wacana dikotomis benar-salah, sukses-gagal, sedih-gembira. Ia adalah hasil ikutan dari over intelectualizing yang dilakukan oleh kepala-kepala yang penuh dengan isi. Ia memang memenuhi banyak buku, jurnal, majalah, koran. Dan pada saat yang membuat semuanya jadi fully occupied. Sehingga tidak menyisakan sedikitpun ruang kosong wacana. Sebagai hasilnya, sudah mulai ada orang yang gerah kepanasan, bahkan ada yang mulai tidak bisa bernafas, dan pada akhirnya mati suri tanpa disadari.

Satu spirit dengan kekosongan alam semesta yang memungkinkan manusia menghirup udara gratis, mungkin ada manfaatnya untuk menoleh pada unoccupied mind, unborn mind, atau apa yang kerap saya sebut dengan unschooled mind. Sebagaimana tubuh yang memerlukan udara segar, mind juga memerlukan kesegaran-kesegaran.

Dan di titik ini, kekosongan adalah alternatif yang layak untuk direnungkan. Coba Anda perhatikan apa reaksi orang-orang kalau tiba-tiba di depannya ada mobil bergerak menuju dirinya. Entah orang kaya, orang miskin, orang desa, orang kota, orang tua maupun muda, beresponnya sama : lari atau melompat ketakutan. Saya kerap memperhatikan bunyi anak-anak menangis. Entah itu di Inggris, Australia, Prancis, Amerika atau Indonesia, tangisan bayi senantiasa sama. Ini hanya sebagian contoh dan bukti the unborn mind. Percaya atau tidak, dalam keadaan-keadaan tertentu, semua manusia bisa kembali ke sana, ke alam kosong yang penuh dengan isi.

Ada orang yang takut memang pergi ke sana. Dan saya termasuk orang yang rajin bereksplorasi di sana. Mirip dengan alam pegunungan yang tidak terjamah manusia, di mana udaranya demikian segar dan menjernihkan, unborn mind juga serupa. Kesegaran, kejernihan dan kebeningan hadir dalam dunia kosong yang berisi. Paradoksnya, bukankah tulisan pendek ini juga penuh dengan isi ? Karena itulah saya menyesal besar pernah menulis tulisan ini.

Kita Semua bisa Beruntung

Penulis : Gede Prama

Diantara cabang belajar yang menyedot demikian banyak perhatian orang adalah ilmu keberuntungan. Dan ia tidak saja menarik banyak peminat, melainkan juga berumur demikian lama. Sebut saja larisnya buku-buku Feng Shui, atau larisnya konsultan di bidang yang serupa. Dalam kalkulasi seorang sahabat manajer sebuah toko buku, nilai uang yang beredar untuk mengongkosi ilmu keberuntungan tidak kurang dari jutaan dolar.

Pertanyaan dasar yang mengganggu banyak orang dalam hal ini, apakah keberuntungan hanya menjadi milik segelintir orang, ataukah bisa dimiliki semua orang ? Ini memang pertanyaan klasik yang telah, dan mungkin akan ditanyakan orang terus sepanjang zaman. Kalau bahan acuan keberuntungan adalah bentuk hidung, dagu dan bentuk-bentuk fisik lainnya, benar keyakinan pertama bahwa keberuntungan hanyalah milik orang dengan bentuk-bentuk fisik tertentu. Jika bahan acuannya adalah sikap dan perilaku, cerita tentu saja menjadi lain.

Kendati sering kali disebut sejumlah pengusaha Chinese sebagai orang yang memiliki bentuk-bentuk fisik yang penuh keberuntungan, saya cenderung untuk berargumen kalau keberuntungan lebih terkait dengan sikap dan perilaku. Mirip dengan prinsip yang tergantung rapi di salah satu ruangan kerja saya : "Attitude is a little thing that makes a big difference". Sikap adalah hal kecil yang membuat perbedaan besar, demikianlah acuan awal saya dalam memandang keberuntungan.

Anda bisa bayangkan seorang yang amat pintar, berpengalaman dan bahkan berprestasi mengagumkan. Ia memang akan dilirik banyak sekali orang dan perusahaan. Cuman kalau semua kehebatan terakhir dibungkus dengan sikap-sikap yang menyakiti hati otang, di sini berlaku rumus kehebatanmu adalah harimaumu. Dan saya bertemu orang seperti ini dalam frekuensi yang cukup sering. Ada yang memamerkan kesombongan di sana-sini. Ada yang hidup dari satu sakit hati satu orang ke sakit hati orang lain. Memang tidak bisa dipungkiri, ada sebagian dari mereka yang ditemani keberuntungan sesaat. Akan tetapi pengalaman saya bertutur lain. Dalam jangka panjang, kesengsaraan adalah sahabatnya kesombongan.

Semua orang pada dasarnya memiliki kekurangan, hanya saja menutupinya secara berlebihan, hanya akan menimbulkan pandangan-pandangan mata yang tidak terlalu bersahabat. Sadar akan hal ini, saya pernah terinspirasi oleh sebuah renungan Konfusius yang ditulis seorang penulis jernih. "Humility and modesty are the best protection against the wrong opinion of the others", demikian penulis jernih ini pernah bertutur. Dengan kata lain, penyelamat terbaik kita dari pendapat dan persepsi keliru yang datang dari orang lain bernama kesopanan dan sikap rendah hati.

Dan ini bukan tanpa bukti, ia didukung oleh banyak sekali deretan bukti. Hidup saya sebagian diselamatkan oleh dua penyelamat terakhir. Ketika siap-siap untuk naik ke kursi nomer satu di sebuah perusahaan swasta, ada yang menarik kaki, menggergaji kursi, difitnah dengan kebencian-kebencian dan godaan-godaan sejenis. Kadang rasa marah dan dendam suka datang. Syukurnya, godaan-godaan ini berkunjung ketika Tuhan sudah mempersenjatai saya dengan dua penyelamat di atas. Sebagai hasilnya, banyak ramalan orang-orang yang dipatahkan hanya oleh dua prinsip hidup yang sederhana : kesopanan dan sikap rendah hati.

Sayangnya, mirip dengan langit-langit rumah yang membatasi pandangan kita ke angkasa, demikianlah kesombongan menghalangi kesopanan dan sikap rendah hati. Bagi sahabat-sahabat yang sudah demikian kuatnya diikat oleh kesombongan, bahkan mengindentikkan dua penyelamat di atas sebagai "kebodohan dan keluguan". Dan sayapun sudah cukup sering disebut bodoh dan lugu. Tidak mengerti bisnis, buta huruf di bidang keuangan, kurang ngotot dalam mencapai target hanyalah sebagian stempel kebodohan dan keluguan yang pernah dilemparkan ke saya. Mirip dengan parasut yang sudah terikat rapi di badan demikian juga dengan dua penyelamat di atas. Sebanyak dan sesering apapun lemparan-lemparan tidak mengenakkan datang dari orang lain, sebanyak dan sesering itu juga modesty and humility datang sebagai penyelamat.

Bedanya dengan malaikat penyelamat yang dibayangkan banyak orang dan hanya berkunjung dengan syarat-syarat yang berat, dua penyelamat ini bisa sering datang dengan syarat sederhana : latihan. Ya sekali lagi latihan dan hanya latihan. Dan sang hiduppun memberikan tempat dan waktu latihan yang hampir tidak terbatas. Belajar dari cerita di atas, mulailah dengan membebaskan diri dari langit-langit yang bernama kesombongan. Seorang sahabat pernah bertutur, kalau kesombongan tidak menguntungkan siapa-siapa dalam jangka panjang. Kalau mempertinggi ego sesaat tentu saja sulit diingkari. Namun hidup untuk ego, bukankah itu sebentuk kemewahan yang hanya bisa dimaklumi kalau terjadi di masa kanak-kanak ?

Boleh saja ada yang menyebutnya terlalu menyederhanakan, namun begitu langit-langit kesombongan bisa ditembus, maka kesopanan dan sikap rendah hati akan sering datang berkunjung. Dan keduanya tidak saja berkunjung dengan misi sebagai penyelamat, tetapi juga bisa membuat orang hidup penuh keberuntungan. Coba perhatikan apa yang pernah ditulis Chao-Hsiu Chen dalam The Bamboo Oracle : "A friendly heart creates happy people. A happy heart creates lucky people". Jadi, kenapa mesti ragu-ragu. Kalau saya bisa dibuat beruntung oleh kesopanan dan kerendahan hati, Andapun bisa hidup beruntung dengan modal yang sama.*****

Kesedihan Juga Menawan

Penulis: Gede Prama

"Kebahagiaan yang dicari, kesedihan yang didapat", demikianlah keluhan demikian banyak manusia. Entah itu di gunung atau di pantai, di desa atau di kota, di rumah mewah atau rumah sederhana, berpendidikan tinggi atau berpendidikan rendah, sebagian diisi oleh manusia dengan keluhan seperti ini. Lebih-lebih di rumah Indonesia yang menyimpan demikian banyak pekerjaan rumah dari kepemimpinan sampai dengan pengangguran. Sehingga dalam kesederhanaan pemahaman dapat disimpulkan, dalam banyak komunitas manusia, kesedihan serupa dengan musuh, penyakit, hantu bahkan setan yang menakutkan. Tidak ada pilihan lain selain mengusirnya jauh-jauh.

Padahal, siapa saja yang pernah menyelam ke dalam lapisan-lapisan dalam kehidupan - entah melalui pengetahuan, pengalaman apa lagi meditasi - pasti pernah melihat kalau kesedihan bukan lawan (apalagi musuh) kebahagiaan. Kesedihan, di kedalaman renungan seperti ini, juga berfungsi tidak berbeda dengan kebahagiaan. Bukankah kesedihan ada untuk merasakan kedalaman kebahagiaan? Tidakkah ada yang melihat, kalau kebahagiaan kehilangan kedalamannya ketika kesedihan ditolak? Adakah yang pernah merasakan getaran-getaran rasa yang mendalam justru ketika kesedihan meluncur demikian dalamnya?

Kalau sejarah digunakan sebagai sumur-sumur pemahaman, ia menyimpan banyak sekali manusia mengagumkan justru karena pernah menyelam dalam di kedalaman kesedihan. Mahatma Gandhi yang legendaris itu, yang mengusir penjajah secara elegan melalui gerakan-gerakan antikekerasan, melalui masa-masa kesedihan yang amat panjang. Dari masa mudanya yang keras di Afrika Selatan sampai masa tuanya yang tertembak. Dalai Lama yang menyentuh itu, sebagian lebih hidupnya di pengasingan. Kendati hari-harinya berisi kesedihan, kesedihan dan kesedihan, ia tampak semakin kuat melalui senyumannya yang amat khas. Nelson Mandela lain lagi. Dalam kurun puluhan tahun tokoh Afrika Selatan ini dipenjara secara amat mengenaskan. Namun pengalaman yang demikian mengenaskan ini juga yang membuat seorang Nelson Mandela demikian kuatnya. Dan kemudian demikian dikagumi.

Di Indonesia kita mengenal Mohammad Hatta. Sebagian lebih hidupnya berisi terlalu banyak kesedihan. Hidup miskin dan teramat sederhana. Mundur dari singgasana kekuasaan. Kembali ke kehidupan orang biasa dengan menjadi dosen perguruan tinggi setelah lama duduk di singgasana kekuasaan. Salah seorang puterinya bahkan pernah bertutur, kalau gaji pensiunannya tidak cukup digunakan bahkan untuk membayar listrik dan tagihan air minum saja. Namun, bukankah deretan kesedihan ini juga yang membuat Hatta demikian bercahaya hidupnya?

Dalam tataran bangsa, Jepang mulai bangkit kekuatannya beberapa tahun setelah berenang di tengah samudera air mata berupa dua kotanya dijatuhi bom atom. Amerika menjadi demikian maju karena pada awalnya dibentuk oleh manusia-manusia perantauan yang ditempat asalnya kebanyakan mengalami kesedihan. Negara-negara yang kerap dilanda kesedihan akibat bencana alam seperti Taiwan, seperti menyimpan tenaga hidup yang tidak habis-habisnya.

Sehingga dalam totalitas sejarah seperti ini, layak direnungkan kembali menghadirkan wajah kesedihan yang serba hitam, gelap dan buruk. Lebih dari itu, keserakahan untuk hanya menerima kebahagiaan dan membuang kesedihan, tidak saja membuat kebahagiaan berwajah hambar, juga membuat peradaban manusia bergerak dari satu wilayah dangkal ke wilayah dangkal yang lain.

Disinari cahaya terang seperti inilah, maka penyelam-penyelam dalam di samudera kehidupan tidak sedikit yang menyarankan manusia menyelami serangkaian kedalaman kesedihan. Penyair menyentuh yang bernama Kahlil Gibran, yang pernah menghasilkan karya master piece berupa Sang Nabi dengan demikian apiknya menulis: "Tatkala kita bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur!" Psikiater kondang James Scott pernah menyimpulkan kalau jiwa manusia justru jadi kuat setelah melalui serangkaian kesedihan. Penulis jernih Jan Goldstein malah punya pengalaman tangan pertama, kalau duka cita yang mendalam menghasilkan banyak sekali kesucian. Setidaknya itu yang ia ceritakan dalam karya menyentuhnya yang berjudul Sacred Wounds.

Maulana Jalaluddin Rumi lebih mengagumkan lagi. Tidak saja pesan-pesannya yang menyentuh, tetapi pilihan bahasanya juga memperterang kejernihan. Dalam salah satu karyanya, Rumi pernah mengandaikan manusia serupa dengan sayur-sayuran. Di alam bebas, sayur-sayuran masih amat mentah. Salah-salah bisa jadi sampah. Namun, melalui hawa-hawa panas dapurlah, sayur-sayuran dibuat menjadi matang, kemudian melangkah meyakinkan menjadi satu dengan kehidupan manusia. Bukankah manusia juga serupa? Awalnya hanya bahan mentah, namun dapur kesedihanlah yang membuatnya menjadi lebih berguna dan bermakna.

Di salah satu pojokan karyanya, Rumi seperti tidak memberikan pilihan lain terkecuali mengalami sendiri kesedihan. Terutama bagi manusia yang mau bertumbuh di ladang-ladang rohani. Coba perhatikan salah satu saran Rumi terhadap orang-orang yang ingin menjadi lelaki sejati: "Hanya melalui kesedihan, melalui penderitaan yang disertai dengan kesabaran, manusia bisa bertumbuh menjadi laki-laki sejati."

Dalam hamparan kejernihan seperti ini, Indonesia memang masih menyimpan banyak kesedihan, umat manusia pasti masih akan menemui kesedihan, cuman bukankah kesedihan juga yang membawa manusia ke serangkaian kekuatan sekaligus kebahagiaan yang mendalam?*****

Kendaraan Menuju Kebahagian

Penulis : Gede Prama

Salah satu dari sangat sedikit buku yang saya baca pelan-pelan sampai habis adalah buku Dalai Lama bersama Howard C. Cutter yang berjudul The Art of Happiness. Awalnya, buku ini saya baca secara cepat. Akan tetapi, semakin diselami, ia seperti menghadirkan kedamaian tersendiri. Seperti berhadapan dengan manusia dengan tantangan yang amat besar - bayangkan negerinya dianeksasi Cina dalam waktu yang lama - namun masih bisa menyebut diri berbahagia.

Lama sempat saya dibuat tercenung oleh tokoh perdamaian terakhir. Dan merasakan sendiri, betapa kecilnya saya di hadapan 'raksasa' kehidupan sehebat Dalai Lama. Di manapun kita bertemu tokoh ini, di televisi, di media cetak atau di hampir semua kesempatan, kita senantiasa bertemu dengan mimik muka yang serba tersenyum. Padahal, kehidupannya - sebagaimana dituturkan Cutter - tidak sedikit yang ditandai oleh banjir kesedihan.

Ada seorang rahib Tibet yang disiksa dalam tahanan Cina selama lebih dari dua puluh tahun. Orang tua yang menangis karena anaknya dididik di sekolah yang menginjak-injak ajaran dan keyakinan orang Tibet. Bayangkan, bangsa Tibet yang dalam waktu amat lama meyakini tidak boleh membunuh segala sesuatu yang bernyawa, tiba-tiba generasi mudanya disuruh membunuh binatang setiap kali pergi ke sekolah. Dan semakin besar hasil bunuhannya, maka semakin besar juga nilainya di sekolah. Belum lagi penghancuran tempat-tempat suci bangsa Tibet.

Dirangkum menjadi satu, kehidupan seorang Dalai Lama ditandai oleh banjir bandang kesedihan yang demikian dahsyat. Kalau orang biasa seperti saya mengalaminya, mungkin ceritanya menjadi amat lain. Sehingga menimbulkan pertanyaan besar bagi saya, apa kendaraan dahsyat yang bisa membawa Dalai Lama sampai dalam tataran kebahagiaan yang sekarang? Sampai sekarangpun saya masih meraba-raba. Yang jelas, sebagai manusia yang hidup di zaman ini, tidak sedikit orang menggunakan materi dan hal-hal eksternal lain sebagai kendaraan menuju kebahagiaan. Perlombaan materi terjadi di mana-mana. Lomba model terakhir, tidak hanya monopoli orang kota. Di desapun perlombaan terjadi. Dari perlombaan materi sampai dengan perlombaan 'spiritual'. Terutama, melalui perlombaan mau disebut paling mengetahui, paling peka dengan sinyal-sinyal Tuhan dan sejenisnya. Bahkan di pojokan tertentu kehidupan beragama juga terjadi perlombaan. Kasus pembunuhan antarumat di Maluku, demikian juga di Yugoslavia hanyalah sebagian kecil dari demikian banyak kasus lomba mau disebut lebih benar. Maka jadilah kita sekumpulan manusia yang menempatkan 'perlombaan' sebagai kendaraan menuju kebahagiaan. Kalau ukurannya adalah pembunuhan yang tidak pernah berhenti, kesengsaraan yang meningkat terus, atau kebencian meningkat serta kasih sayang yang menyusut, maka boleh dikatakan bahwa 'perlombaan' sebagai kendaraan menuju kebahagiaan telah gagal membawa kita ke sana.

Sebagai orang yang hadir di banyak kesempatan, sering kali saya bertemu manusia yang kesepian di keramaian. Atau kelaparan di tengah kekayaan materi yang melimpah. Atau malah dihimpit kebencian di tempat ibadah yang suci dan mulia. Dan secara jujur harus saya katakan ke Anda, sayapun kadang-kadang ditulari penyakit serupa. Serta membuat saya bertanya, dalam struktur sosial seperti apakah kita ini sedang hidup?

Seorang sahabat sekaligus guru yang sering memberi inspirasi ke saya pernah bertutur, dunia pencerahan baru kita temukan kalau kita mulai menemukan orang Kristen di Masjid, saudara-saudara Muslim di Vihara, sahabat-sahabat beragama Budha di Pura, atau penganut Hindu di Gereja. Tentu saja maksudnya bukan kehadiran fisik. Namun kehadiran secara persahabatan. Terutama, persahabatan dalam kedamaian dan kebahagiaan. Kalau masih kita merasakan permusuhan dan perlombaan kebenaran di tempat ibadah, saya mau bertanya: masihkah kita layak untuk berdoa dari tempat suci ini? Kembali ke soal awal tentang kendaraan menuju kebahagiaan, bercermin dari ini semua, banyak orang menyimpulkan bahwa perlombaan materi, maupun perlombaan kebenaran, bukanlah kendaraan yang tepat dalam hal ini. Bahkan, telah terbukti menjerumuskan kemanusiaan ke dalam lembah dalam dan mengerikan.

Lantas punyakah kita kendaraan alternatif?
Bercermin dari kehidupan mulia Dalai Lama, rupanya beliau telah lama tidak menggunakan kendaraan sebagaimana disebutkan di atas. Dengan perjalanannya keliling dunia, bertutur serta berceramah tentang perdamaian ke siapa saja yang mau mendengarkan, bersahabat dengan musuh yang menganeksasi negerinya, ia sedang menunjukkan ke kita tentang kendaraan beliau yang amat lain. Di sebuah kesempatan ia pernah bertanya ke seorang rahib Budha yang baru saja keluar dari penjara Cina selama puluhan tahun. Ketika ditanya, bahaya terbesar yang dihadapi ketika rahib tadi berada di penjara, ia menjawab sederhana: kehilangan rasa perdamaian dengan bangsa Cina. Anda bebas menyimpulkan semua pengalaman ini, namun bagi saya ia memberi inspirasi tentang kendaraan sebagai sarana menuju kebahagiaan. Rupanya, kualitas rangkulan kita bersama kehidupan dan orang lain, bisa menjadi kendaraan menuju kebahagiaan, yang jauh lebih memadai dibandingkan kendaraan manapun. Anda punya kendaraan lain?

Kaya Karena Sederhana

Penulis: Gede Prama

Menjadi orang kaya, itulah cita-cita banyak sekali orang. Hal yang sama juga pernah melanda saya. Dulu, ketika masih duduk di bangku SMU, kemudian menyaksikan ada rumah indah dan besar, dan di depannya duduk sepasang orang tua lagi menikmati keindahan rumahnya, sering saya bertanya ke diri sendiri : akankah saya bisa sampai di sana ?. Sekian tahun setelah semua ini berlalu, setelah berkenalan dengan beberapa orang pengusaha yang kekayaan perusahaannya bernilai triliunan rupiah, duduk di kursi tertinggi perusahaan, atau menjadi penasehat tidak sedikit orang kaya, wajah-wajah hidup yang kaya sudah tidak semenarik dan seseksi bayangan dulu.

Penyelaman saya secara lebih mendalam bahkan menghasilkan sejumlah ketakutan untuk menjadi kaya. Ada orang kaya yang memiliki putera-puteri yang bermata kosong melompong sebagai tanda hidup yang kering. Ada pengusaha yang menatap semua orang baru dengan tatapan curiga karena sering ditipu orang, untuk kemudian sedikit-sedikit marah dan memaki. Ada sahabat yang berganti mobil termewah dalam ukuran bulanan, namun harus meminum pil tidur kalau ingin tidur nyenyak. Ada yang memiliki anak tanpa Ibu karena bercerai, dan masih banyak lagi wajah-wajah kekayaan yang membuat saya jadi takut pada kekayaan materi.

Dalam tataran pencaharian seperti ini, tiba-tiba saja saya membaca karya Shakti Gawain dalam jurnal Personal Excellence edisi September 2001 yang menulis : ?If we have too many things we dont truly need or want, our live become overly complicated?. Siapa saja yang memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul dibutuhkan, kehidupannya akan berwajah sangat rumit dan kompleks.

Rupanya saya tidak sendiri dalam hal ketakutan bertemu hidup yang amat rumit karena memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul diperlukan. Shakti Gawain juga serupa. Lebih dari sekadar takut, di tingkatan materi yang amat berlebihan, ketakutan, kecemasan, dan bahkan keterikatan berlebihan mulai muncul.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana tidur saya amat terganggu di hari pertama ketika baru bisa membeli mobil. Sebentar-sebentar bangun sambil melihat garasi. Demikian juga ketika baru duduk di kursi orang nomer satu di perusahaan. Keterikatan agar duduk di sana selamanya membuat saya hampir jadi paranoid. Setiap orang datang dipandang oleh mata secara mencurigakan. Benang merahnya, kekayaan materi memang menghadirkan kegembiraan (kendati hanya sesaat), namun sulit diingkari kalau ia juga menghadirkan keterikatan, ketakutan dan kekhawatiran. Kemerdekaan, kebebasan, keheningan semuanya diperkosa habis oleh kekayaan materi.

Disamping merampok kebebasan dan keheningan, kekayaan materi juga menghasilkan harapan-harapan baru yang bergerak maju. Lebih tinggi, lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Demikianlah kekayaan dengan amat rajin mendorong manusia untuk memproduksi harapan yang lebih tinggi. Tidak ada yang salah dengan memiliki harapan yang lebih tinggi, sejauh seseorang bisa menyeimbangkannya dengan rasa syukur. Apa lagi kalau harapan bisa mendorong orang bekerja amat keras, plus keikhlasan untuk bersyukur pada sang hidup. Celakanya, dalam banyak hal terjadi, harapan ini terbang dan berlari liar. Dan kemudian membuat kehidupan berlari seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri.

Berefleksi dan bercermin dari sinilah, saya sudah teramat lama meninggalkan kehidupan yang demikian ngotot mengejar kekayaan materi. Demikian tidak ngototnya, sampai-sampai ada rekan yang menyebut saya bodoh, tidak mengerti bisnis, malah ada yang menyebut teramat lugu. Untungnya, badan kehidupan saya sudah demikian licin oleh sebutan-sebutan. Sehingga setiap sebutan, lewat saja tanpa memberikan bekas yang berarti.

Ada sahabat yang bertanya, bagaimana saya bisa sampai di sana ? Entah
benar entah tidak, dalam banyak keadaan terbukti kalau saya bisa berada di waktu yang tepat, tempat yang tepat, dengan kemampuan yang tepat. Ketika ada perusahaan yang membutuhkan seseorang sebagai pemimpin yang cinta kedamaian, saya ada di sana. Tatkala banyak perusahaan kehilangan orientasi untuk kemudian mencari bahasa-bahasa hati, pada saat yang sama saya suka sekali berbicara dan menulis dengan bahasa-bahasa hati. Dikala sejumlah kalangan di pemerintahan mencari-cari orang muda yang siap untuk diajak bekerja dengan kejujuran, mereka mengenal dan mengingat nama saya. Sebagai akibatnya, terbanglah kehidupan saya dengan tenang dan ringan. Herannya, bisa sampai di situ dengan energi kengototan yang di bawah rata-rata kebanyakan orang. Mungkin tepat apa yang pernah ditulis Rabin Dranath Tagore dalam The Heart of God : ?let this be my last word, that I trust in Your Love?. Keyakinan dan keikhlasan di depan Tuhan, mungkin itu yang menjadi kendaraan kehidupan yang paling banyak membantu hidup saya.

Karena keyakinan seperti inilah, maka dalam setiap doa saya senantiasa memohon agar seluruh permohonan saya dalam doa diganti dengan keikhlasan, keikhlasan dan hanya keikhlasan. Tidak hanya dalam doa, dalam keseharian hidup juga demikian. Ada yang mau menggeser dan memberhentikan, saya tidak melawan. Ada yang mengancam dengan kata-kata kasar, saya imbangi secukupnya saja. Ada sahabat yang menyebut kehidupan demikian sebagai kehidupan yang terlalu sederhana dan jauh dari kerumitan. Namun saya meyakini, dengan cara demikian kita bisa kaya dengan jalan sederhana.

Katakan Dengan Bunga

Penulis: Gede Prama

Say it with flower, itu ungkapan banyak sekali manusia untuk mengekspresikan cinta, persahabatan, kebersatuan. Tidak saja kalimatnya yang indah dan mudah dicerna, tetapi juga sentuhan yang dihadirkan di balik kalimat "katakan dengan bunga". Ada pojokan-pojokan tertentu dari hati ini, yang seperti tersentuh ketika ada orang lain mengungkapkan sesuatu dengan bunga. Terimakasih, rasa hormat, penghargaan dan hal-hal seperti itulah yang pertama kali muncul dari dalam.

Bila direnungkan sedikit lebih dalam, rupanya manusia menggunakan bunga dalam banyak sekali kesempatan sebagai sarana yang kebanyakan bersifat positif dan mulya. Mengungkapkan cinta, mengucapkan selamat, menjalin persahabatan, memperindah taman, ekspresi duka cita, menerima tamu terhormat dan sederetan kegiatan positif lainnya. Di beberapa tempat seperti Bali, bunga bahkan digunakan sebagai sarana persembahyangan menuju Tuhan.

Hanya saja, kendati bunga berguna untuk demikian banyak sekali hal, sedikit sekali yang bertanya makna di balik bunga. Kebanyakan orang, senang dan bahagia ketika menerima hadiah bunga, atau dikalungi bunga, namun jarang sekali yang bertanya, adakah bunga bertutur tentang makna? Tersentuh oleh perlambang bunga, sepasang bibir pernah bertanya ke bunga-bunga yang ada di taman : hai bunga suara-suara makna apa yang kau bawa sampai manusia demikian tergoda? Tentu saja bunga tidak bersuara.

Sampai di suatu waktu ada yang bisa mendengar makna tidak dengan telinga. Rupanya, hampir semua bunga memiliki beberapa ciri yang serupa. Pertama, bunga tumbuh untuk menjadi wakil keindahan. Kedua, ia mekar dengan tugas berbagi bau wangi. Ketiga, bau wangi tadi muncul dari sebuah titik pusat. Keempat, setelah melakukan semua tugasnya, dengan rela dan ikhlas ia kembali pada tugas berikutnya : menjadi pupuk buat Ibunya.

Mari mulai dengan ciri pertama bunga sebagai wakil keindahan. Di kebanyakan tempat, di mana bunga-bunga mekar, secara spontan banyak pasang bibir berucap : it"s beautiful! Demikian spontannya, sampai kadang-kadang agak menghentak. Ia seperti menjewer telinga seorang anak kecil yang diingatkan orang tuanya dengan pesan sederhana : jangan lupa, hidup berisi terlalu banyak keindahan! Sehingga bagi sejumlah hidup yang teramat jarang berpapasan dengan keindahan, mungkin banyak manfaatnya untuk merenda makna di taman-taman bunga. Tidak untuk memikirkan yang bukan-bukan, hanya belajar terhubung dengan keindahan melalui salah satu wakilnya yang bernama bunga.

Mengenai tugas bunga berbagi bau wangi juga penuh inspirasi. Semakin dekat sebuah waktu dengan saat mekarnya bunga, semakin banyak bau wangi yang disebarkan bunga. Seperti sedang merenda makna, pertama manusia juga ada untuk berbagi bau wangi. Entah melalui kata-kata yang terucapkan, perilaku yang menyentuh, atau melalui pikiran-pikiran yang jernih, bukankah manusia bisa berbagi bau wangi? Kedua, semakin dekat manusia dengan waktu kematian semakin banyak juga sebaiknya bau wangi yang ditaburkan. Bukankah kematian ada untuk mengingatkan manusia untuk segera berbagi bau wangi?

Memasuki ciri ketiga bunga, bau wangi datang dari serangkaian (kadang sebuah) titik pusat. Ini juga mau berucap, dari titik pusat itulah manusia bisa berbagi bau wangi. Ada sahabat yang bertanya tentang titik pusat manusia. Dan ada berbagai spekulasi yang pernah muncul. Ada yang menyebut titik pusat sebagai posisi di antara kanan-kiri, benar-salah, teman-musuh dan segala bentuk dualitas lainnya. Ada juga yang mengatakan pengendalian diri sebagai titik pusat. Ada juga yang tidak mau kalah dengan menyebut cinta sebagai titik pusat manusia. Ada penganut mistik yang meletakkan titik pusat dalam keterhubungan (connectedness). Sehingga hidup yang hanya sebuah keterhubungan ini, membuat manusia menyadari kalau dirinya bukan apa-apa (dalam matematika diwakili oleh angka nol). Dan angka nol adalah persegi dengan jumlah persegi yang tidak berhingga. Dengan demikian, adakah yang bisa merajut makna ketidakberhinggaan dari kehidupan bunga yang berbagi bau wangi dari titik pusat?

Ciri terakhir bunga adalah keikhlasan meninggalkan bau wangi, serta mengakhiri tugas menjadi wakil keindahan dengan tulus dan ikhlas demi terlaksananya tugas berikutnya. Ini juga pelajaran amat berguna bagi manusia. Ada saatnya, seberapa bagus dan mengagumkanpun tugas manusia (dalam hal bunga adalah menyebar wangi dan mewakili keindahan), kita mesti rela meninggalkannya. Terutama, untuk memperlancar tugas berikutnya, kendati tugas berikutnya tidak sementereng dan semengagumkan tugas sebelumnya. Serupa dengan bunga yang kehidupannya berguna sekaligus penuh makna, bukankah dengan melepaskan yang lama dan menerima yang baru di setiap hari baru, manusia mulai mengepakkan sayap-sayap kebebasan?

Entahlah, yang jelas maafkan saya karena melemparkan terlalu banyak pertanyaan. Bagi sahabat yang biasa disuapi jawaban, ini memang membingungkan. Kendatipun kebingungan itu sendiri tidak selalu negatif. Sebab bisa menjadi pembuka pintu bagi kemungkinan dimasukinya wilayah-wilayah pandangan baru yang segar. Bagi rekan yang biasa menyelami kedalaman pertanyaan, hentakan-hentakan pertanyaan ini memang bukan gawang sepak bola yang bisa menutup perjalanan. Melainkan lebih menyerupai sumur-sumur tanpa dasar yang mesti diselami sendiri-sendiri. Bukankah dengan pertanyaan manusia senantiasa dibukakan pintu pencaharian? ***